Christianto Wibisono, Penulis adalah pengamat politik nasional dan internasional
Budiarto Shambazy menulis dalam Kompas (26/7), “Andai Aku Jadi Presiden” bahwa ikon Obama lahir hanya sekali dalam 1.000 tahun. Capres Barack Obama melampaui popularitas Kennedy ketika berpidato di Brandenburg Gate dikerumuni 200.000 massa yang bahkan tidak pernah terkumpul di AS. Ibaratnya, Obama bukan sekadar Presiden AS tapi adalah Presiden Dunia, di mana para pemilih sedunia peduli dan proaktif, ingin ikut memilih dan mengharapkan kandidat Obama bisa menjadi presiden kulit berwarna pertama di AS. Suatu terobosan meritokrasi meruntuhkan tembok pemisah ras, etnis, agama sesuai pidato Obama di Berlin. Dalam manuver untuk menjamin mulusnya Obama menjadi presiden dalam meraih dukungan wanita kulit putih dan Partai Republik, Caroline Kennedy mengusulkan Ann Venneman, mantan Menteri Pertanian kabinet Bush dari Partai Republik sebagai cawapres. Caroline adalah putri almarhum Presiden John Kennedy yang ditunjuk Obama menjadi ketua tim rekrutmen cawapres.
Sementara, prospek munculnya Obama Indonesia tergantung dari peta persaingan capres. Dengan asumsi duet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK) dipertahankan oleh kedua pihak karena merupakan the best option, mereka bisa berkongsi untuk mengatur strategi dengan koalisi Golkar-Demokrat, SBY harus memperkuat Partai Demokrat guna menjadi “Ferrari” dalam mengebut kemenangan Pemilu 2009. Tampaknya opsi ini tidak tampak dalam strategi kubu SBY.
Pada tahun 2004 pasangan ini muncul dari kekuatan pesona individu seorang SBY yang terkesan dimarjinalkan oleh Taufik Kiemas. Jusuf Kalla bukan Ketua Umum Golkar, dan karena itu menyeberang menjadi mitra SBY. Baru se- telah jadi Wapres, Jusuf Kalla merebut jabatan Ketua Umum Golkar .
Sejarah politisi era Reformasi penuh dengan tukar mitra mirip tukar guling atau kumpul kebo, tidak jelas lagi kesetiaan kepada partai atau mitra, tapi sudah homo homini lupus.
Sebelum pemilu 1999 Gus Dur dan Megawati adalah mitra kongsi, setelah masuk ide Poros Tengah, maka keduanya retak karena berebut kursi presiden. Akbar Tandjung dinaikkan ke kursi Golkar oleh Wiranto yang menyetop Eddi Sudradjad, tapi dalam konvensi, Wiranto malah mengalahkan Ketua Umum Akbar Tandjung. Dalam konvensi ini Jusuf Kalla juga kalah, baru setelah menjadi Wapres, dia come back merebut jabatan Ketua Umum dari posisi Wapres. Wiranto kapok dengan Golkar dan membuat Hanura. Cak Nur bengong ketika ditanya mana “gizi”-nya waktu mau ikut konvensi Golkar. Gizi berarti money politics, tentu saja sebagai “calon Obama” Cak Nur tidak punya dana, maka ia bahkan tidak bisa ikut proses konvensi sama sekali.
Peta 2009 berbeda karena tampaknya posisi incumbent menjadi rawan dengan pelbagai faktor eksternal yang bisa disebut force majeur. Kenaikan harga migas sebetulnya bukan kesalahan SBY-JK, karena itu adalah wilayah kekuasaan produsen terbesar OPEC dan spekulan kelas George Soros. Tapi dampak bagi masyarakat pasti mempengaruhi pilihan dan terutama bila pertanyaan mendasar kenapa pengelolaan migas kita karut-marut dan tidak pernah tuntas transparan.
Pilihan Terbaik
Jika SBY-JK tidak pecah kongsi, maka ini adalah pilihan terbaik dan teraman buat duet itu, karena kombinasi lain tampaknya tidak lebih baik dari duet ini. Tapi Fadjroel Rachman dalam debat di TVOne hari Jumat memojokkan Budiman Sudjatmiko yang dalam posisi defensif membela jurus come back-nya Megawati. Konfrontasi berdasar umur capres dipicu polemik Tifatul Sembiring-Megawati akan menjadi salah satu isu utama. Para tokoh generasi muda semakin pede dan ingin langsung terjun menuju singgasana RI-1 tanpa melalui magang RI-2 lagi. Ini adalah dampak kemacetan politik 32 tahun Soeharto yang menyebabkan antrean panjang gerbong elite yang tidak pernah tertampung dalam jalur utama kekuasaan. Semua membeludak di era reformasi, ingin langsung kedepan loket dan pintu masuk menjadi RI-1.
Sutrisno Bachir, Ketua Umum PAN terjun langsung ke media se- cara pribadi, Yusril Ihza Mahendra, Din Syamsuddin, Rizal Malarangeng, Yuddy Chrisnandy, Fadjroel Rachman, sampai Ratna Sarumpaet semua mengorbit di media massa sebagai tokoh kaum muda.
Di antara pelbagai nama papan atas dari generasi senior, Sri Sultan HamengkuBuwono X merupakan figur unik yang berkharisma dan semua ketua partai besar ingin melamarnya menjadi cawapres. Tapi dari segi senioritas dan popularitas dia malah lebih berbobot dan paling electable sebagai capres. Sebagai “sultan” tidak mungkin “melamar” ke partai lain, sedang di dalam Golkar sendiri terhambat mekanisme ketua umum cenderung otomatis menjadi capres.
Struktur politik Indonesia tidak memungkinkan figur bukan ketua partai menjadi Obama. Ketua Umum DPP Partai tidak akan mencalonkan orang luar atau orang lain, sebab dalam memakai tradisi partai sistem parlementer, ia memang calon Perdana Menteri bila partainya menang dalam pemilu. Padahal, kita menganut sistem pilpres langsung. Dengan mekanisme partai yang didominasi DPP atau Ketua Umum, maka sulit mengharapkan lolosnya Sultan Hamengku Buwono sebagai calon Golkar, kecuali Golkar mengulangi pola konvensi zaman Akbar Tandjung. Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla membantah bahwa Golkar sudah mengambil putusan mencalonkan Sultan seperti kata ketua DPD Golkar DI Yogyakarta.
Memang ironis bahwa tokoh non partai terpopuler, tidak mungkin jadi capres, kecuali rela melamar ke partai dengan risiko ditolak, kecuali sang tokoh rela menjadi nomor 2. Sebab, kursi RI-1 merupakan target dan privilege Ketua Umum DPP Partai besar, kecuali partai gurem. Tapi partai gurem juga butuh “gizi”, padahal kendaraan partai itu mirip “bemo” melawan “Ferrari” seperti Golkar dan PDI-P. Kendaraan PKB sedang dipisah dari sopir andalan Gus Dur. Kendaraan PKS bisa masuk 3 besar “Ferrari” dan PKS belum tentu rela menawarkan kursi RI-1 untuk capres di luar PKS. Karena figur Hidayat Nur Wahid jelas merasa setara dengan barisan tokoh muda yang sudah muncul terbuka. Kenapa SBY se- olah membiarkan Partai Demokrat mirip “bemo” dan tidak mengubahnya menjadi “Ferrari” dengan sopir kawakan.
Jika sampai Demokrat hanya menghasilkan proporsi “bemo” bagaimana dan siapa yang akan credible dan rela mencalonkan SBY. Kecuali bila duet SBY-JK rujuk dan tetap bersatu menggalang kekuatan untuk terjun langsung merangkul golongan putih (golput) yang jumlahnya lebih besar dari Golkar maupun PDI-P. Jika duet ini pecah, maka JK akan tampil lewat Golkar, sedang SBY jika mengandalkan Demokrat yang masih kelas “bemo” tentu akan sulit melawan “Ferrari” Golkar dan PDI-P.
Formula memenangi SBY-JK tentu berbeda dari formula jika keduanya maju solo dan saling bersaing. Apakah duet ini masih kuat dan punya aura incumbent yang bisa mematahkan lawan di luar pemilu dengan mengecilkan pesaing seperti dialami PKB dan Gus Dur. Budiarto Shambazy benar bahwa Obama lahir hanya 1.000 tahun sekali karena itu sistem politik Indonesia model kumpul kebo sekarang ini sulit melahirkan Obama 2009. Kecuali bila ada terobosan 40 juta pemilih yang golput, bersatu mencalonkan capres menurut hati nurani mereka dan menjadi partai terbesar di Indonesia.
reff:vgsiahaya.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar