Pendahuluan
Demam berdarah dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan masalah kesehatan bagi bangsa-bangsa di Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Sebagian besar anak-anak dirawat di rumah sakit ataupun mati karena infeksi virus Dengue yang menyebabkan DBD.
Penelitian klinis yang disertai dengan pemeriksaan patologi jaringan telah membuktikan bahwa perubahan pada pembuluh darah pada infeksi virus Dengue akan menunjukkan manifestasi meningkatnya permeabilitas seluruh pembuluh darah dan memacu timbulnya renjatan (shock) hipovolemik dan perdarahan. Trombositopeni (penurunan kadar trombosit, yaitu bahan yang berperan dalam pembekuan darah) dan kelainan pada sistem pembekuan darah juga memacu perdarahan yang hebat.
Patofisiologi
Proses patofisiologi utama untuk menentukan berat-tidaknya demam Dengue adalah peningkatan permeabilitas pembuluh darah, penurunan volume plasma (hipovolemia), hipotensi (penurunan tekanan darah), trombositopeni dan haemorrhagic diathesis.
Meningkatnya permeabilitas dnding kapiler disebabkan oleh pelepasan zat anafilatoksin, histamin, serotonin serta aktivasi sistem kalikrein. Maka akan terjadi ekstravasasi cairan elektrolit dan protein, terutama albumin, ke dalam rongga di antara jaringan ikat dan rongga serosa. Hal ini dibuktikan dengan radioisotop I131. Dengan demikian akan terjadi penurunan volume cairan tubuh (hipovolemik) plasma, yang jika mencapai 30% dari seluruh cairan tubuh akan menyebabkan renjatan (shock) yang hebat yang akan berakibat anoxia (tidak adanya suplai Oksigen) jaringan, asidosis metabolik dan kematian bila tidak terkontrol.
Trombositopeni merupakan petanda kedua untuk menentukan diagnosis penyakit DBD. Seseorang akan didiagnosa DBD jika jumlah trombositnya kurang atau sama dengan 100.000/mm3 yang disertai peningkatan permeabilitas kapiler. (Permeabilitas adalah kemampuan suatu membran - dalam hal ini dinding pembuluh darah- untuk melewatkan bahan-bahan tertentu). Trombositopeni ini diasumsikan karena tertekannya fungsi megakaryosit (sel yang kelak pecah dan menjadi trombosit) serta destruksi trombosit yang matur (dewasa/matang).
Gangguan pembekuan darah juga berperan dalam terjadinya perdarahan pada penderita DBD. Pada pemeriksaan faal hemostasis (fungsi keseimbanga cairan tubuh) akan terjadi peningkatan Partial Thromboplastine Time (PTT) 54,6% dan Prothrombine Time 33,3%. Sedangkan Thrombine Time pada umumnya normal. Terjadi penurunan faktor-faktor pembekuan darah, yaitu faktor II, V, VII, IX, X dan fibrinogen. Diduga juga terjadi penurunan faktor XII.
Selain itu infeksi virus Dengue ini juga menyebabkan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) (suatu keadaan kehabisan zat/bahan pembekuan darah, sehingga terjadi pendarahan yang terus-menerus).
Patogenesis
Sampai kini banyak sarjana yang menganut "The Secondary Heterologous Infection" atau "Sequential Infection Hypothesis" tentang infeksi virus Dengue yang menyebabkan DBD.
Teori ini menyatakan tentang suatu keadaan dimana seseorang mendapatkan infeksi ulangan dengan virus dengue yang berbeda dalam waktu tertentu (diperkirakan 5 bulan - 5 tahun). Akibat infeksi virus dengue yang berlainan pada seorang penderita dengan kadar antibodi antidengue yang rendah akan menyebabkan terjadinya respon antibodi anamnestik dalam waktu beberapa hari yang kemudian akan mengakibatkan proliferasi (bertambah banyaknya) dan transformasi limfosit imun dengan menghasilkan peningkatan titer antibodi Imunoglobulin G (IgG) antidengue. Akan terbentuk pula kompleks antigen-antibodi yang akan mengaktifkan sistem komplemen, terutama C3a dan C5a, dan terjadi pengelepasan histamin. Pengelepasan histamin akan meningkatkan permeabilitas kapiler pembuluh darah dan akan timbul manifestasi klinis karena infeksi virus Dengue tersebut.
Penemuan di Laboratorium Klinik Di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya, 70-80 % penderita terdiagnosa DBD dengan berdasarkan kriteria WHO 1975/1986 yaitu :
A. Kriteria Klinis
- Panas mendadak tinggi terus menerus dan berlangsung selama 2-7 hari.
- Manifestasi perdarahan, meliputi uji Tourniquette yang menunjukkan hasil positif.
- Pembesaran hati/hepar
- Shock/renjatan yang manifestasinya cepat dengan nadi melemah, disertai nadi yang menyempit, juga hipotensi dengan ditandai kulit yang lembab, dingin dan gelisah.
B. Kriteria Laboratorium
- Trombositopeni (jumlah trombosit darah <>
- Hemokonsentrasi-- hematokrit (jumlah sel darah keseluruhan) meningkat 20% atau lebih
- Diagnosis DBD menjadi jelas apabila trombosit turun segera sebelum atau bersamaan dengan meningkatnya harga hematokrit.
Tata Laksana DBD
Tata laksana DBD bersifat suportif berdasarkan tanda dan gejala, pemeriksaan laboratorium, dan observasi penderita sesering mungkin. Prinsip dari tata laksana DBD adalah mengoreksi perubahan patofisiologi yang terjadi, misalnya adanya hipovolemik plasma darah diterapi dengan meningkatkan volume plasma darah.
A.Tata laksana DBD tanpa renjatan (shock)
Diberikan cairan seperti untuk tata laksana Gastro Enterititis, secara oral (lewat jalan makan) yang berisi elektrolit dan glukosa atau sari buah. Selain itu diberikan antipiretik (penurun panas). Penggunaan Salisilat atau Aspirin tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan perdarahan dan asidosis (keadaan asam) Terapi cairan parenteral (infus intravena) dapat diberikan jika terjadi muntah-muntah yang berakibat dehidrasi (kurang cairan) dan asidosis.
B. Tata laksana DBD dengan renjatan (shock)
disusun oleh : Sunarto, mahasiswa FK Unair,Renjatan DBD merupakan kasus kegawatan yang membutuhkan penanganan secara cepat dan perlu segera memperoleh cairan pengganti. Biasanya dijumpai kelainan asam basa dan elektrolit (hiponatremia). Dalam hal ini perlu dipikirkan kemungkinan dapat terjadinya DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) dan terkumpulnya asam dalam darah yang dapat mengakibatkan perdarahan hebat yang juga mempersulit penanganan renjatan. Perlu dilakukan penggantian plasma darah yang hilang dan cairan pengganti lanjutan. Untuk mengganti secara cepat plasma darah yang hilang digunakan larutan garam fisiologis (isotonik). Jika renjatan berlangsung terus disertai hematokrit yang tinggi, diberikan larutan koloidal. Transfusi darah dapat diberikan pada kasus dengan renjatan yang sangat berat atau renjatan berkelanjutan walaupun hematokrit belum menurun secara nyata setelah diberikan cairan pengganti. Pemberian cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang diatur sesuai dengan plasma darah yang hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar