Pengantar:Assalamu 'alaikum wr...wb...
Pada suatu diskusi (obrolan santai) malam hari di teras rumah dengan topik perbankan, islam dan perbankan islam, tiba-tiba saya terdiam dan tidak menyangka ada suatu pertanyaan kecil tapi menggelitik. Gimana sih sejarah Bank Sentral kita itu? Waktu itu secara garis besar sih saya tahu jawabnya. Namun item tersebut menjadi PR buat saya untuk mencari lebih detail. PR tersebut dilontarkan dengan senyum (mungkin sinis kali ya...!), katanya sudah lebih 15 tahun berkarir di perbankan, tetapi sejarahnya sendiri kok cuma tahu garis besarnya...! Wouw... malu dong...!
Berikut ini saya mencoba mencari "Sejarah" tersebut. Semoga tulisan ini bermanfaat buat menambah wawasan kita semua.
Wassalamu 'alikum wr...wb...
Bagian Satu: Sejarah Perkembangan Bank Sentral di Nusantara
Jauh sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah menjadi pusat perdagangan
internasional. Sementara di daratan Eropa, merkantilisme telah berkembang menjadi revolusi industri dan menyebabkan pesatnya kegiatan dagang Eropa. Pada saat itulah muncul lembaga perbankan sederhana, seperti Bank van Leening di negeri Belanda. Sistem perbankan ini kemudian dibawa oleh bangsa barat yang mengekspansi nusantara pada waktu yang sama. VOC di Jawa pada 1746 mendirikan De Bank van Leening yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank itu adalah bank pertama yang lahir di nusantara, cikal bakal dari dunia perbankan pada masa selanjutnya. Pada 24 Januari 1828, pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi dengan nama De Javasche Bank (DJB). Selama berpuluh-puluh tahun bank tersebut beroperasi dan berkembang berdasarkan suatu oktroi dari penguasa Kerajaan Belanda, hingga akhirnya diundangkan DJB Wet 1922.Bagian Dua: Nusantara sampai dengan Awal Abad ke 19
Sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan internasional. Pada saat itu terdapat dua jalur perniagaan internasional yang digunakan oleh para pedagang, jalur darat dan jalur laut. Pada masa itu telah terdapat dua kerajaan utama di nusantara yang mempunyai andil besar dalam meramaikan perniagaan internasional, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Dalam maraknya perniagaan tersebut belum ada mata uang baku yang dijadikan nilai standar. Meskipun masyarakat telah mengenal mata uang dalam bentuk sederhana.Sementara itu pada abad ke-15 bangsa-bangsa Eropa sedang berupaya memperluas wilayah penjelajahannya di berbagai belahan dunia, termasuk Asia dan Nusantara. sejak jatuhnya Konstantinopel ke tangan kekuasaan Turki Usmani (1453), penjelajahan tersebut dipelopori oleh Spanyol dan Portugis yang kemudian diikuti oleh Belanda, Inggris, dan Perancis. Kegiatan penjelajahan tersebut telah mendorong munculnya paham merkantilisme di Eropa pada abad ke 16–17.
Selanjutnya pada akhir abad ke-18 revolusi industri telah berlangsung di Eropa. Kegiatan industri berkembang dan hasil produksi meningkat sehingga mendorong kegiatan ekspor ke wilayah Asia dan Amerika. Pesatnya perdagangan di Eropa memicu tumbuhnya lembaga pemberi jasa keuangan yang merupakan cikal-bakal lembaga perbankan modern, antara lain seperti Bank van Leening di Belanda. Kemudian secara bertahap bank-bank tertentu di wilayah Eropa seperti Bank of England (1773), Riskbank (1809), Bank of France (1800) berkembang menjadi bank sentral
Munculnya Malaka sebagai emporium perdagangan telah menarik perhatian bangsa Portugis yang akhirnya pada 1511 berhasil menguasai Malaka. Mereka terus bergerak ke arah timur menuju sumber rempah-rempah di Maluku. Di
Ratu Inggris mengutus Sir Thomas Stamford Raffles untuk memerintah Hindia Timur. Tetapi pemerintahan Raffles tidak bertahan lama, karena setelah usainya perang melawan Perancis (Napoleon) di Eropa, Inggris dan Belanda membuat kesepakatan bahwa semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali kepada Belanda. Sejak saat itu Hindia Timur disebut sebagai Hindia Belanda (Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (1815–1819) yang terdiri dari Elout, Buyskes, dan van der Capellen. Pada periode inilah berbagai perbaikan ekonomi mulai dilaksanakan di Hindia Belanda. Hingga nantinya Du Bus menyiapkan beberapa kebijakan yang mempersiapkan didirikannya De Javasche Bank pada 1828.
Bagian Tiga: DJB berdasarkan Oktroi 1 s.d. 8
Gagasan pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia Belanda dicetuskan menjelang keberangkatan Komisaris Jenderal Hindia Belanda Mr. C.T. Elout ke Hindia Belanda. Kondisi keuangan di Hindia Belanda dianggap telah memerlukan penertiban dan pengaturan sistem pembayaran dalam bentuk lembaga bank. Pada saat yang sama kalangan pengusaha di Batavia, Hindia Belanda, telah mendesak didirikannya lembaga bank guna memenuhi kepentingan bisnis mereka. Meskipun demikian gagasan tersebut baru mulai diwujudkan ketika Raja Willem I menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda pada 9 Desember 1826. Surat tersebut memberikan wewenang kepada pemerintah Hindia Belanda untuk membentuk suatu bank berdasarkan wewenang khusus berjangka waktu, atau lazim disebut oktroi.Dengan surat kuasa tersebut, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan berdirinya DJB. Pada 11 Desember 1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda Leonard Pierre Joseph Burggraaf Du Bus de Gisignies mengeluarkan Surat Keputusan No. 28 tentang oktroi dan ketentuan-ketentuan mengenai DJB. Kemudian pada 24 Januari 1828 dengan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda No. 25 ditetapkan akte pendirian De Javasche Bank (DJB). Pada saat yang sama juga diangkat Mr. C. de Haan sebagai Presiden DJB dan C.J. Smulders sebagai sekretaris DJB.
Oktroi merupakan ketentuan dan pedoman bagi DJB dalam menjalankan usahanya. Oktroi DJB pertama berlaku selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember 1837 dan diperpanjang sampai dengan 31 Maret 1838. Pada periode oktroi keenam, DJB melakukan pembaharuan akte pendiriannya di hadapan notaris Derk Bodde di Jakarta pada 22 Maret 1881. Sesuai dengan akte baru DJB, status bank diubah menjadi Naamlooze Vennootschap (N.V.). Dengan perubahan akte tersebut, DJB dianggap sebagai perusahaan baru. Oktroi kedelapan adalah oktroi DJB terakhir hingga berlakunya DJB Wet pada 1922. Pada periode oktroi terakhir ini, DJB banyak mengeluarkan ketentuan baru dalam bidang sistem pembayaran yang mengarah kepada perbaikan bagi lalu lintas pembayaran di Hindia Belanda. Oktroi kedelapan berakhir hingga 31 Maret 1921 dan hanya diperpanjang selama satu tahun sampai dengan 31 Maret 1922.
Bagian Empat : DJB Berdasarkan DJB Wet
Pada 31 Maret 1922 diundangkan De Javasche Bankwet 1922 (DJB Wet). Bankwet 1922 ini kemudian diubah dan ditambah dengan UU tanggal 30 April 1927 serta UU 13 November 1930. Pada dasarnya De Javasche Bankwet 1922 adalah perpanjangan dari oktroi kedelapan DJB yang berlaku sebelumnya. Masa berlaku Bankwet 1922 adalah 15 tahun ditambah dengan perpanjangan otomatis satu tahun, selama tidak ada pembatalan oleh gubernur jenderal atau pihak direksi. Pimpinan DJB pada periode DJB Wet adalah direksi yang terdiri dari seorang presiden dan sekurang-kurangnya dua direktur, satu di antaranya adalah sekretaris. Selain itu terdapat jabatan presiden pengganti I, presiden pengganti II, direktur pengganti I, dan direktur pengganti II. Penetapan jumlah direktur ditentukan oleh rapat bersama antara direksi dan dewan komisaris. Pada periode ini DJB terdiri atas tujuh bagian, di antaranya bagian ekonomi statistik, sekretaris, bagian wesel, bagian produksi, dan bagian efek-efek.
Pada periode ini DJB berkembang pesat dengan 16 kantor cabang, antara lain: Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan Manado, serta kantor perwakilan di Amsterdam, dan New York. DJB Wet ini terus berlaku sebagai landasan operasional DJB hingga lahirnya Undang-undang Pokok Bank Indonesia 1 Juli 1953.
Bagian
Pecahnya Perang Dunia II di Eropa terus menjalar hingga ke wilayah Asia Pasifik. Militer Jepang segera melebarkan wilayah invasinya dari daratan Fungsi dan tugas bank-bank yang dilikuidasi tersebut, kemudian diambil alih oleh bank-bank Jepang, seperti Yokohama Specie Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui Bank, yang pernah ada sebelumnya dan ditutup oleh Belanda ketika mulai pecah perang. Sebagai bank sirkulasi di Pulau Jawa, dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko yang melanjutkan tugas tentara pendudukan Jepang dalam mengedarkan invansion money yang dicetak di Jepang dalam tujuh denominasi, mulai dari satu hingga sepuluh gulden. Sampai pertengahan bulan Agustus 1945, telah diedarkan invansion money senilai 2,4 milyar gulden di Pulau Jawa, 1,4 milyar gulden di Sumatera, serta dalam nilai yang lebih kecil di Kalimantan dan
Bagian Enam: DJB Masa Revolusi
Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945,
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Keesokan harinya, pada 18 Agustus 1945 telah disusun Undang-Undang Dasar 1945. Dalam penjelasan UUD 1945 Bab VIII pasal 23 Hal Keuangan yang menyatakan cita-cita membentuk bank sentral dengan nama Bank Bagian Tujuh: Periode Pengakuan Kedaulatan RI s.d. Nasionalisasi DJB
Pada Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik
Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada saat itu, sesuai dengan keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), fungsi bank sentral tetap dipercayakan kepada De Javasche Bank (DJB). Pemerintahan RIS tidak berlangsung lama, karena pada tanggal 17 Agustus 1950, pemerintah RIS dibubarkan dan
Sebelum berdirinya Bank
Bagian Delapano: Periode Nasionalisasi DJB s.d sekarang
11/1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank
Sejak saat itu, Bank
Setelah orde baru berlalu, Bank
Nama-nama Gubernur Bank Indonesia (d/h De Javasche Bank)
Periode 1828 s.d 1953

- Mr. C. de Haan; Masa Jabatan : 1828 - 1838
- C. J. Smulders; Masa Jabatan : 1838 – 1851
- E. Francis; Masa Jabatan : 1851 – 1863
- C. F. W. Wiggers van Kerchem; Masa Jabatan : 1863 - 1868
- J. W. C. Diepenheim; Masa Jabatan : 1868 - 1870
- Mr. F. Alting Mees; Masa Jabatan : 1870 - 1873
- Mr. N. P. van den Berg; Masa Jabatan : 1873 - 1889
- S. B. Zeverijn; Masa Jabatan : 1889 - 1893
- D Groeneveld; Masa Jabatan : 1893 - 1898
- J. Reijsenbach; Masa Jabatan : 1899 – 1906
- Mr. G. Vissering; Masa Jabatan : 1906 - 1912
- E. A. Zeilinga Azn.; Masa Jabatan : 1912 - 1924
- Mr. L. J. A. Trip; Masa Jabatan : 1924 - 1929
- Mr. Dr. G. G. van Buttingha Wichers; Masa Jabatan : 1929 - 1945
- Dr. R. E. Smits; Masa Jabatan : 1946 - 1949
- Dr. A. Houwink; Masa Jabatan : 1949 - 1951
- Mr. Sjafruddin Prawiranegara; Masa Jabatan : 1951 - 1953
Gubernur Bank Indonesia sejak 1953 (ditandai: berlakunya Undang-Undang (UU) No. 11/1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953) s.d. sekarang

- Mr. Sjafruddin Prawiranegara; Masa Jabatan : 1953 - 1958
- Mr. Loekman Hakim; Masa Jabatan : 1958 - 1959
- Mr. Soetikno Slamet; Masa Jabatan : 1959 - 1960
- Mr. Soemarno; Masa Jabatan : 1960 – 1963
- T. Jusuf Muda Dalam; Masa Jabatan : 1963 – 1966
- Radius Prawiro; Masa Jabatan : 1966 – 1973
- Rachmat Saleh; Masa Jabatan : 1973 - 1983
- Arifin Siregar; Masa Jabatan : 1983 - 1988
- Adrianus Mooy; Masa Jabatan : 1988 - 1993
- J. Soedrajad Djiwandono; Masa Jabatan : 1993 – 1998
- Sjahril Sabirin; Masa Jabatan : 1998 - 2003
- Burhanuddin Abdullah; Masa Jabatan : 2003 – 2008
- Boediono; Masa Jabatan : 2008 - 2013
Sumber: Musium Bank
Tidak ada komentar:
Posting Komentar