Total Tayangan Halaman

Kamis, 27 Februari 2014

Indahnya Ritual Tawaf dan SA'I

MELANGGENGKAN MAKNA TAWAF DAN SA’I

Di antara rukun-rukun ibadah haji (dan Umrah), thawaf dan sa’i merupakan rukun yang tidak mudah ditangkap simbolisme yang terkandung di dalamnya. Bergerak mengelilingi Ka’bah tujuh kali, dan berlari-lari kecil dari bukit Shafa ke Marwah sebanyak tujuh kali memiliki makna yang sangat dalam bagi hidup dan kehidupan setiap manusia dalam totalitas dimensinya, bukan hanya dalam konteks ritual atau kepentingan akhirat semata. Ali Syariati (2009: 85) memaknai kedua ritual ini sebagai berikut:


 Tawaf,  mengandung makna bahwa gerak hidup setiap manusia, bukanlah sekedar untuk hidup itu sendiri, melainkan segala gerak hidup itu terjadi dan menuju kepada Allah. Allah lah sebagai pusat pusaran gerak manusia. Sedangkan Sa’i,  dimaknai sebagai simbol agar manusia berusaha sebisanya mencapai keberhasilan dalam hidup ini, bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi untuk umat manusia.

Dalam proses sa’i jalan yang ditempuh berbeda dengan tawaf.  Apabila tawaf merupakan perjalanan melingkar, maka sa’i  adalah perjalanan lurus. Sa’i adalah symbol hijrah dari satu tempat ke tempat lain dalam perjalanan hidup untuk mencapai takdir diri masing-masing.  Sa’i merupakan perjalanan bolak-balik sebanyak tujuh kali, sebuah angka “ganjil”, bukan “genap”. Tujuh adalah angka simbolis yang melambangkan seluruh kehidupan manusia senantiasa menuju  Marwah.  Sa’i dimulai dari Shafa (yang artinya cinta sejati kepada orang lain), dan berakhir di bukit  Marwah (yang artinya ideal manusia, rasa hormat, kedermawanan, dan sikap memaafkan orang lain), yaitu orang yang ada di sekeliling dan bersama kita menjalani kehidupan. 

Sa’i adalah menenggelamkan diri kita dalam samudera cinta, yang kemudian muncul dalam keadaan bersih, tanpa noda dan berada dalam kemuliaan.

Marilah kita bawa pemaknaan di atas dalam konteks kehidupan keseharian. Manusia seharusnya melakukan “sa’i” dalam setiap keadaan hidupnya, yaitu senantiasa berangkat dari Shafa (cinta sejati kepada orang lain) menuju kepada bukit Marwah (kemuliaan). Maksudnya manusia dalam hidup ini harus bekerja menjalani hari-harinya, dengan motivasi untuk orang lain, bukan hanya untuk diri sendiri.  Menjalani pekerjaan hari demi hari hakikatnya adalah proses hidup itu sendiri, dan diharapkan akan berhenti pada setelah mencapai tataran ideal manusia yang mulia.

Kata Sa’i secara bahasa dapat diartikan sebagai usaha atau berjuang. Sa’i adalah bekerja secara fisik, sebagai jalan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Makna Sa’i dapat dikembangkan sebagai perjuangan hidup, baik pribadi, keluarga, maupun masyarakat. Dalam sa’i seseorang memerankan diri sebagai Hajar, seorang wanita miskin, pelayan dan hamba sahaya yang direndahkan, dari bangsa yang diremehkan. Namun Allah kuasa menjadikannya ibu dari para nabi-Nya yang agung (para rasul). Dengan ketaatan dan kepasrahannnya yang total, Hajar membuktikan bahwa Allah akan menydiakan segala keperluan untuk dia dan anaknya. Allah akan mengurus kehidupan, kebutuhan dan masa depan mereka.
Dalam totalitas kepasrahan itu,  Hajar tidak duduk termangu menunggu keajaiban dari langit. Ia berlari ke sana ke mari dari satu bukit tandus ke bukit tandus lainnya mencari air. Ia tidak duduk termenung dan menangis tanpa daya. Ia gunakan segenap kekuatan kakinya, kehendaknya, dan pikirannya dengan terus mencari, bergerak, dan berjuang tanpa henti. Pencarian air melambangkan pencarian materi (kebutuhan hidup) di atas bumi ini.

Sa’i mengisyaratkan makna perjuangan hidup pantang menyerah. Dalam hidup ini setiap orang harus siap berjuang keras dan pantang menyerah.  Namun demikian, juga selalu disertai dengan kesabaran, keuletan, dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Inilah sebagian makna yang digambarkan sa’i dengan mendaki dan menuruni bukit Shafa dan Marwa.

Ada kalanya kegigihan itu harus dikedepankan, dan ada saatnya pula hidup ini harus mengalir  begitu saja. Di suatu saat kita naik dan berada pada puncak keberhasilan yang menjadikan kita puas, namun di sisi lain juga harus siap turun dengan kegagalan dan kekecewaan. Inilah realitas kehidupan yang digambarkan dengan naik- turun bukit Shafa dan Marwa. Juga terkadang harus bertindak cepat dalam meraih sesuatu, sebagaimana digambarkan dalam syariat sa’i ketika sampai di antara ‘dua pilar hijau’ disunnahkan berlari-lari kecil.

Secara singkat, simbolisasi dari tawaf dan sa’i berdasarkan pemaknaan di atas, adalah bahwa setiap manusia harus memiliki kesadaran yang kuat mengenai sangkan paraning dumadi (dari mana kehidupan ini berasal dan  ke mana akan menuju, yaitu dari dan menuju Allah). Setelah itu ia harus mengisi hari-hari kehidupannya dengan bekerja keras, sungguh-sungguh (berlari-lari), dilandasi oleh kesucian niat dan cinta yang murni kepada orang lain (Shafa), menuju pada kualitas ideal dan kemuliaan seorang manusia (Marwah).

Semoga kita bisa menghayati dan mengamalkan nilai-nilainya secara terus menerus, sebagaimana motto Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), yaitu: Haji Sepanjang Hayat.
Allaahummaj’al hajjana hajjan mabruuran,  wa sya’yan masykuuran,
wa dzanban maghfuuran.  Amiin, ya mujiib as-saa’iliin.

 Sumber Bacaan:

 Ali Syariati. 2009. Makna Haji. Cetakan ke-12. Terjemah: Burhan W. Jakarta: Zahra

http://berangkathajiumroh.wordpress.com/2012/07/02.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar