Benarkah memilih pemimpin non muslim
haram? Setidaknya begitulah pendapat sebagian kalangan Islam seperti
yang mengemuka dalam kisruh isu SARA di pemilukada DKI akhir-akhir ini.
Dalil Al-Qur’an yang mereka pakai di antaranya adalah surah Ali Imran 28
dan Al Ma’idah 51. Dalam terjemahan Indonesia, ayat terakhir berbunyi:
“Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.”
Kata “pemimpin-pemimpin” pada ayat di
atas adalah terjemahan dari kata 'auliya’. Pertanyaannya, tepatkah
terjemahan tersebut? Coba kita telusuri terjemahan ayat ini dalam bahasa
Inggris. Yusuf Ali dalam The Meaning of the Holy Qur’an menerjemahkan auliya’ dengan friends and protectors (teman dan pelindung). Muhammad Asad dalam The Message of the Qur’an dan M.A.S Abdel Haleem dalam The Qur’an sama-sama menerjemahkannya dengan allies (sekutu). Bagaimana dengan penerjemah Inggris yang lain? Muhammad Marmaduke Pickthal dalam The Glorious Qur’an mengalihbahaskan kata auliya’ menjadi friends. Begitu juga N.J. Dawood dalam The Koran dan MH. Shakir dalam The Qur’an. Sedangkan berdasar The Qur’an terjemahan T.B. Irving, auliya’ diartikan sebagai sponsors.
Walhasil, tak satupun terjemahan Inggris
yang saya sebutkan tadi mengartikan auliya’ sebagai “pemimpin.” Dan
secara bahasa Arab, versi terjemahan Inggris ini agaknya lebih akurat.
Perlu diingat, kata auliya’, bentuk jamak dari waliy, bertaut
erat dengan konsep wala’ atau muwalah yang mengandung dua arti: satu,
pertemanan dan aliansi; kedua proteksi atau patronase (dalam kerangka
relasi patron-klien).
Karena itulah agak mengherankan ketika
dalam terjemahan Indonesia pengertian auliya’ disempitkan, kalau bukan
didistorsikan, menjadi “pemimpin”, yang maknanya mengarah pada pemimpin
politik. Bisa jadi karena kata tersebut dianggap berasal dari akar kata
wilayah, yang memang artinya kepemimpinan atau pemerintahan.
Selintas masuk akal. Tapi kalau kita
perhatikan lebih teliti, akan kelihatan bahwa anggapan ini tidak tepat.
Mengapa? Kalau memang kata auliya’ bertolak dari kata wilayah, mestinya
kata itu disertai dengan preposisi ‘ala. Dengan begitu, kalau QS 5:51
berbunyi ba’dhuhum auliya’ ‘ala ba’dh, auliya’ pada ayat tersebut bermakna pemimpin.Tapi ternyata redaksi ayat tersebut berbunyi ba’dhuhum auliya’u ba’dh,
tanpa kata ‘ala setelah auliya’. Jadi tidak pas kalau akar katanya
wilayah. Yang tepat, seperti sudah saya sebut di atas, adalah wala.
’Singkat kata, penerjemahan auliya’ sebagai pemimpin terbukti tak
berdasar.
Lantas bagaimana kita mesti memahami
ayat wala’ seperti QS 5:51 dan QS 3:28 yang secara harfiah melarang kaum
mu’min untuk menjalin pertemanan dan aliansi dengan kaum non muslim,
apalagi minta perlindungan dari mereka? Apakah ini larangan yang berlaku
mutlak atau situasional? Memahami ayat tersebut secara literer dan
berlaku mutlak di manapun dan kapanpun akan sangat bermasalah. Ada tiga
alasan.
Pertama, makna harfiah ayat itu
bertentangan dengan ayat lain yang justru menyatakan kebalikannya.
Misalnya ayat yang menghalalkan laki-laki muslim menikah dengan
perempuan Yahudi atau Kristen. Dalam ayat yang sama juga ditegaskan
bolehnya kaum muslim untuk memakan makanan mereka, dan sebaliknya (Q
5:5) Selain itu, ada juga ayat lain yang menegaskan bahwa Allah tidak
melarang umat Islam untuk “berbuat baik dan berlaku adil” terhadap
pemeluk agama lain yang tidak memerangi mereka dan mengusir dari tanah
kelahiran mereka (QS: 8).
Kedua, Nabi sendiri pernah menjalin
aliansi dan meminta perlindungan dari kalangan non Muslim. Kita ingat
cerita hijrah para Sahabat ke Abessina (Habasyah) yang saat itu
diperintah oleh seorang raja Kristen. Kisah ini menunjukkan bahwa Nabi
pernah meminta perlindungan kepada non muslim. Ketika di Madinah,
Rasulullah memelopori pakta aliansi dengan komunitas Yahudi kota itu
dalam bentuk Piagam Madinah. Bahkan pada level personal, Nabi
bermertuakan orang Yahudi, yakni dari istrinya Sofiah binti Huyai.
Ketiga, kalau QS 3:28 dan QS 5:51
dipahami secara harfiah dan mutlak, lalu bagaimana dengan pendirian
Republik Indonesia yang dalam arti tertentu merupakan hasil kerjasama
antara kaum muslim dengan pemeluk agama lain? Kasus lain: bagaimana
dengan keterlibatan negara-negara Islam di PBB yang nota bene terdiri
dari banyak negara non muslim sedunia? Bagaimana pula dengan Saudi
Arabia, negara yang tak mungkin berdiri tanpa sokongan dari imperialisme
Inggris untuk menghancurkan Khilafah Utsmaniyah pada awal abad 20?
Sampai sekarang pun kita tahu Saudi mendapat perlindungan dari Amerika
Serikat. Bukankah semua itu termasuk dalam kategori menjadikan non
muslim sebagai auliya’? Berarti haram? Oh alangkah absurdnya jalan
pikiran semacam ini!
Karena itulah ayat tersebut mesti
ditafsirkan secara kontekstual. Penerapannya pun tak bisa sembarangan.
Di sini ada baiknya saya mengutip Rashid Rida. Menurutnya, ayat-ayat
pengharaman aliansi dengan, dan minta proteksi dari non muslim sejatinya
hanyalah berlaku untuk non muslim yang nyata-nyata memerangi kaum
muslim. Aliansi yang dilarang juga yang nyata-nyata merugikan
kepentingan umat Islam (Tafsir Al Manar, Vol.3, 277).
Pandangan Rida ini juga sejalan dengan pendapat Fahmi Huwaydi, pemikir Islam kontemporer dari Mesir. Dalam karyanya Muwathinun La Dimmiyyun
(Warga Negara, Bukan Dzimmi) Huwaydimenyatakan bahwa Islam sejatinya
tidak melarang umatnya untuk membangun solidaritas kebangsaan yang
berprinsip kesetaraan dengan non muslim, khususnya Kristen Koptik di
Mesir. Ayat wala’/muwalah, di mata Huwaydi, mestinya tidak dilihat
sebagai larangan terhadap solidaritas semacam itu. Ayat 5: 51, misalnya,
sebenarnya diarahkan kepada kaum munafiq yang ternyata membantu pihak
non muslim yang kala itu berperang dengan umat Islam.
Dengan kata lain, dalam pandangan Rashid
Rida dan Fahmi Huwaydi, QS 3:28 dan QS 5:51 tidak berlaku secara
mutlak, melainkan situasional. Artinya, larangan menempatkan non muslim
sebagai sekutu atau protektor hanya berlaku manakala pihak non muslimnya
jelas-jelas memerangi umat Islam. Adapun jika mereka tidak seperti itu,
maka berarti larangan tadi otomatis tidak berlaku.
Menarik untuk dicatat, argumen Rida dan
Huwaydi ini sebenarnya bisa dipakai juga untuk membantah klaim sejumlah
kalangan Islam yang bergeming untuk memaknai kata auliya’ dalam QS 3:28
dan 5:51 dengan bersandar pada terjemahan Indonesia yang saya kutip di
awal tulisan, yakni sebagai “pemimpin.” Dengan demikian, mereka tetap
ngotot untuk mengharamkan memilih pemimpin non-muslim.Terhadap mereka
kita bisa katakan bahwa ayat tersebut tidaklah berlaku mutlak melainkan
situasional. Artinya, larangan menjadikan non-muslim sebagai pemimpin
berlaku manakala si non muslim tersebut nyata-nyata memerangi umat
Islam. Di luar itu, larangan tersebut tidak berlaku.
Tapi lepas dari itu, kalaupun auliya’
tetap diartikan sebagai “pemimpin,” penerapan QS 3:28 dan 5:51 untuk
konteks Indonesia modern juga salah sasaran. Perlu diingat, negara kita
berbentuk republik yang menerapkan demokrasi langsung, sesuatu yang sama
sekali tidak dikenal dalam sistem politik Islam klasik. Dalam sistem
politik Islam klasik yang lazimnya berbentuk kerajaan, otoritas
kepemimpinan yang dipegang khaliafah didasarkan pada legitimasi kuasa
dari Tuhan, bukan dari rakyat.
Pemimpin dianggap sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi, dengan kekuasan yang absolut. Tidak ada yang
namanya pembagian kekuasaan a la Trias Politica sehingga sang pemimpin
memegang kekuasaan tertinggi dalam ranah legislatif, eksekutif, dan
yudikatif sekaligus. Dengan kata lain, kepemimpinan dengan model “Daulat
Tuanku.”
Ini secara diametral berbeda dengan
sistem republik yang menganut asas kepemimpinan bersendi “Daulat
Rakyat.”Di sini pemimpin bukanlah pemegang kedaulatan tertinggi, karena
legitimasinya justru berasal dari rakyat yang memberinya mandat melalui
pemilu. Kekuasaannya tidak tak terbatas, karena ia bekerja dalam sistem
demokrasi yang menerapkan pembagian kekuasaan. Dalam sistem semacam
ini, presiden atau gubernur hanyalah pemegang kuasa eksekutif saja alias
“hanya” pelaksana. Sebagai pemimpin, ia hanya berkuasa sepertiga.
Dengan demikian, kalau memang pemimpin
non-muslim hukumnya haram, mestinya penerapannya untuk konteks negara
kita bukan hanya berlaku untuk lembaga eksekutif saja, melainkan juga
legislatif dan yudikatif. Ini karena kepemimpinan dalam sistem republik
modern bukanlah bersifat personal melaiankan kolektif dan sistemik.Tapi
kalau itu dilakukan, maka sejatinya yang diharamkan bukan hanya memilih
pemimpin non muslim, melainkan juga bisa mengarah pada pengharaman
terhadap republik kita.
Hal lain, kalau memang dipimpin oleh non
Muslim hukumnya haram, bagaimana dengan umat Islam yang menjadi warga
negara di India, Amerika atau Eropa? Apakah mereka semuanya berdosa
hanya karena jadi warga negara di negara-negara yang dipimpin oleh non
muslim? Apakah para pemain bola seperti Zinedine Zidane, Mesut Oziel,
Sami Khedira, Samir Nasri, Ibrahim Afellay, yang semuanya dipimpin oleh
presiden atau perdana menteri non muslim, harus hijrah ke negara orang
tuanya masing-masing di Timur Tengah?
Dengan paparan di atas, saya ingin
menunjukkan bahwa wacana pengharaman pemimpin non-muslim bukan hanya
berbahaya karena membawa kita berkubang dalam isu SARA yang berpotensi
memecah belah Indonesia. Yang tak kalah problematis, wacana tersebut
ternyata tidak punya pijakan yang kokoh dari kacamata Islam itu sendiri,
karena pedomannya adalah terjemahan ayat secara tidak akurat,
penafsiran yang sempit, dan penerapan yang salah alamat.
* Tulisan ini telah juga dimuat di Majalah TEMPO edisi 16 Agustus 2012; Revisi terakhir pada: 21 November 2013