Wakala (Pelimpahan Hak) merupakan lembaga (bukan bersifat

Tugas dan fungsi dari Wakala adalah:
- Melakukan pembayaran-pembayaran atas seizin pemilik rekening Dinar dan Dirham
- Melakukan pengiriman Dinar dan Dirham ke segenap penjuru dunia
- Mengatur penukaran uang kertas ke dalam bentuk Dinar dan Dirham
Muhtasib
- Syarat-syarat untuk menjadi seseorang Muhtasib adalah Muslim, memiliki sifat yang baik dan terpercaya, memiliki ilmu fikih yang berkaitan dengan masalah ini dan memiliki kemampuan untuk mengenali riba dalam segala bentuk muslihatnya.
- Tugas utamanya adalah memastikan agar semua tata cara yang dilakukan oleh para Wakil dan Wakala tidak keluar dari ketentuan yang telah ditetapkan.
- Wakil hanyalah seseorang yang diberikan kuasa oleh pemilik Dinar dan dirham. Sistem e-Dinar hanyalah perantara bagi individu untuk berhubungan dengan Wakala. Seorang Muhtasib harus diberikan kepercayaan untuk memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk memastikan bahwa kondisi tersebut di atas selalu terjaga.
Penjelasan mengenai ketentuan-ketentuan mengenai Pemberian Kuasa ini diambil dari kitab Bidayatul Mujtahid yang disusun oleh Ibn Rusy'd. Pembicaraan dalam kitab al-Wakalah (pemberian kuasa) ini mencakup tiga bab. Pertama, tentang rukun pemberian kuasa, yakni berkenaan dengan barang yang dikuasakan dan orang yang memberi kuasa. Kedua, tentang hukum memberikan kuasa. Ketiga, tentang pelanggaran orang yang diberi kuasa terhadap orang yang memberi kuasa.
Bab I Rukun-Rukun Pemberian Kuasa
Pemberian kuasa dalam bab ini berkenaan dengan perbuatan yang dikuasakan, pemberi kuasa (al-Muwakkil), dan penerima kuasa (al-Wakil)
- Pemberi Kuasa (al-Muwakkil)
Para Fuqaha sependapat bahwa orang-orang yang mempunyai otoritas untuk mengatur dirinya itu boleh memberi kuasa. Seperti orang yang bepergian, orang sakit dan perempuan.Menurut Imam Malik, pemberian kuasa dari seorang lelaki yag sehat dan tidak bepergian itu boleh. - Orang yang Diberi Kuasa (al-Wakil)
Syarat-syarat pemberian kuasa adalah orang yang tidak dilarang oleh shari'a untuk melakukan tindakan terhadap sesuatu yang dikuasakan kepadanya. Oleh karena itu, Imam Malik, tidak sah memberi kuasa kepada anak di bawah umur dan orang gila. Dan memberi kuasa kepada wanita untuk melaksanakan akad nikah tidak sah menurut Imam Malik. - Tindakan yang Dikuasakan (at-Taukil)
Syarat obyek pemberian kuasa ialah perbuatan yang dapat digantikan oleh orang lain, seperti jual beli, pemindahan hutang, tanggungan, semua bentuk transaksi, semua pembatalan transaksi, serikat dagang, pemberian kausa, penukaran mata uang, pemberian gaji, akad bagi hasil (al-Musaqah), talak, nikah, khulu', dan perdamaian.
Tetapi tidak diperkenankan pada ibadah-ibadah badaniah dan diperbolehkan pada ibadah-ibadah bersifat harta seperti zakat, sedekah, dan haji. Menurut Imam Malik, pemberian kuasa untuk menyelesaikan persengketaan berdasarkan pengakuan dan pengingkaran itu diperbolehkan. Begitu pula pemberian kuasa untuk menjalankan hukuman. Sedangkan untuk pernyataan pengakuan tidak dapat dikuasakan kepada seseorang. - Sifat Pemberian Kuasa
Pemberian kuasa (al-Wakalah) adalah akad yang mengikat dengan adanya ijab dan qabul, seperti akad-akad yang lainnya. Tetapi al-Wakalah itu bukan akad yang terlalu mengikat, melainkan akad yang jaiz, seperti akan dikemukakan tentang hukum akad al-Wakalh ini.
Menurut Imam Malik, pemberian kuasa itu ada dua macam, yakni umum dan khusus. Yang umum adalah pemberian kuasa yang berlaku secara umum tanpa menyebutkan satu perbuatan. Sebab, apabila disebutkan, maka sifat keumuman dan penyerahannya tidak dapat dipergunakan
Bab II Hukum-Hukum Pemberian Kuasa
Tentang hukum pemberian kuasa, di antaranya hukum akad dan hukum perbuatan orang yang diberi kuasa.
Hukum akad - seperti yang telah dikatakan - adalah akad yang tidak lazim (mengikat). Menurut para fuqaha, orang yang diberi kuasa itu boleh menarik penyerahan kekuasaan tersebut kapan saja menghendaki.
Menurut Imam Malik, kehadiran pihak lawan (dalam persengketaan) tidak menjadi syarat terjadinya akad pemberian kuasa, ini juga berlaku di depan hakim.
- Kematian Pemberi Kuasa
Jika kita katakan bahwa kematian dan pengunduran diri pemberi kuasa (al-Muwakkil) dapat membatalkan transaksi. Menurut Imam Maik, ada tiga hal yang dapat 'membebas tugaskan' seorang penerima kuasa (al-Wakil) berkaitan dengan pihak yang bekerja pada penerima wakil.
Pertama, kematian, pengunduran, dan pemecatan membatalkan semua hak yang terkait dengan transaksi al-Wakalah. Kedua, hak orang yang mengetahui kematian pemberi kuasa (al-muwakkil) dan pemecatan penerima kuasa (al-Wakil) itu batal. Ketiga, batalnya transaksi al-wakalah dapat juga membatalkan hak orang yang bekerja pada penerima kuasa (al-Wakil),
baik ia mengetahui kematian atau pemecatan pemberi kuasa (al-Muwakkil) atau tidak.
Tetapi transaksi al-Wakalah tidak membatalkan hak penerima kuasa (al-Wakil), walaupun orang yang bekerja padanya mengetahui kematian atau pemecatan pemberi kuasa (al-Muwakkil). Jika penerima kuasa (al-Wakil) tidak mengetahui sendiri, sedangkan orang yang membayar sesuatu kepada penerima kuasa, maka ia harus menanggung kerugian. Karena secara sadar, orang itu membayar sesuatu kepada orang yang tidak menjabat sebagai penerima kuasa (al-Wakil). - Hukum Penerima Kuasa (al-Wakil)
Ada beberapa persoalan yang terkenal berkenaan dengan hukum-hukum penerima kuasa. Antara lain, jika ia diberi kuasa untuk menjual sesuatu, bolehkah ia membeli sesuatu itu untuk dirinya sendiri? Dalam beberapa kondisi Imam Malik memperbolehkannya, akan tetapi untuk beberapa
kondisi tidak diperbolehkan.
Persoalan lain, jika seseorang memberi kuasa (kepada orang lain) secara mutlak dalam urusan jual beli. Menurut Imam Malik, penerima kuasa itu tidak boleh menjual kecuali berdasarkan harga pasar, secara tunai dan dengan mata uang di negeri itu. Jika ia membayar dengan pembayaran kemudian dan tidak berdasarkan harga pasar, maka hal tersebut tidak diperbolehkan. Kondisi ini berlaku pula dalam pembelian.
Bab III Perselisihan antara Pemberi Kuasa dengan Penerima Kuasa
Perselisihan yang terjadi antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa bisa berkaitan dengan hilangnya harta yang berada di tangan penerima kuasa atau besarnya harga pembelian atau penjualan, jika pemberi kuasa memerintahkan dengan harga tertentu. Atau boleh jadi berkenaan dengan barang yang dibeli, penentuan orang yang harus melakukan pembayaran, atau berkenaan dengan tuduhan melakukan kesalahan.
Jika kedua belah pihak bersengketa tentang harta yang hilang, kemudian penerima kuasa berkata, "Harta itu telah hilang dariku", sementara pemberi kuasa berkata, "Barang itu tidak hilang", maka yang dipegang dalam hal ini adalah kata-kata penerima kuasa berikut saksi, bahwa dirinya belum menerima barang tersebut. Tetapi jika harta tersebut telah diterima oleh penerima kuasa dari pemberi kuasa dan pemberi kuasa tidak dapat mendatangkan saksi atas penyerahan barang tersebut, maka dalam hal ini pemberi kuasa 'tidak bebas' dengan pengakuan penerima kuasa dan ia dikenakan denda (memberi ganti).
Lalu, apakah pemberi kuasa itu boleh menagih kepada penerima kuasa? Dalam hal ini jika terjadi perselisihan pendapat. Jika penerima kuasa menerima barang tersebut dengan dihadiri oleh saksi, maka pemberi kuasa itu menjadi bebas dan penerima kuasa itu pun tidak terkena kewajiban apa pun.
BAGIAN II: Sebuah Tinjauan Fiqh
1. PENGERTIAN WAKALAH
Kata wakalah huruf wawu diharakati fathah dan kadang-kadang dikasrah, menurut bahasa adalah penyerahan dan penjagaan. Misalnya, wakkaltu fulaanan (saya mengangkat si fulan sebagai penjaga), dan wakkaltu amra ilaihi (saya menyerahkan urusan kepadanya).
Adapun menurut istilah syar’i ialah seseorang mengangkat orang lain sebagai pengganti dirinya, secara mutlak ataupun secara terikat.
2. DISYARI’ATKAN WAKALAH
Wakalah disyari’atkan berdasar Kitabullah, sunnah Rasulullah saw, dan ijma’ umat Islam:
“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka, “Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)” Mereka menjawab, “Kami berada (di sini) sehari atau setengah hari.” Berkata (yang lain lagi). “Rabb kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.” (QS Al-Kahfi: 19).
Dari Abu Rafi’ ra, ia berkata, “Rasulullah saw mengawini Maimunah dalam keadaan halal dan menggaulinya dalam keadaan halal (yaitu sebelum masuk kawasan miqat), dan saya penghubung antara keduanya.” (Shahihul Isnad: Irwa-ul Ghalil VI: 252, Darimi II: 38, Ahmad VI: 392-393).
Abu Rafi’ juga diserahi tugas melunasi hutang-hutang dan melaksanakan hukum had, sebagaimana Beliau saw bersabda:
“Pergilah, ya Unais, menemui isteri orang ini! Lalu apabila wanita itu mengakuinya, maka rajamlah ia.” (Hadits ini akan ditampilkan lagi pada pembahasan hudud).
Kaum muslimin sepakat membolehkan wakalah, bagian mereka menganjurkannya karena hal ini termasuk bagian dari ta’awun (tolong menolong) dalam kebaikan dan takwa, karena tidak semua orang mampu menangani sendiri seluruh urusannya, sehingga memerlukan wakil yang berfungsi sebagai pengganti dirinya untuk melaksanakan suatu tugas.
3. HAL-HAL YANG BOLEH DIWAKILKAN
Segala sesuatu yang boleh diurusi sendiri, boleh juga diwakilkan kepada orang lain, atau boleh juga menjadi wakil orang lain.
4. WAKIL ADALAH KEPERCAYAAN
Wakil adalah orang yang mendapat kepercayaan mengurusi apa yang dipegangnya atau apa yang ditanganinya; ia tidak harus menanggung resiko kecuali karena kelalaiannya. Rasulullah saw bersabda:
“Tidak ada tanggungan atas orang yang mendapat amanah.” (Hasan; Shahihul Jami’us Shaghir no: 7518).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 731 - 733.
Sumber tulisan:
http://islamhariini.org/dinar/dinAR07.htm
http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=291&Itemid=22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar