MELANGGENGKAN MAKNA TAWAF DAN SA’I
Di
antara rukun-rukun ibadah haji (dan Umrah), thawaf dan sa’i merupakan rukun yang
tidak mudah ditangkap simbolisme yang terkandung di dalamnya. Bergerak
mengelilingi Ka’bah tujuh kali, dan berlari-lari kecil dari bukit Shafa
ke Marwah sebanyak tujuh kali memiliki makna yang sangat dalam bagi
hidup dan kehidupan setiap manusia dalam totalitas dimensinya, bukan
hanya dalam konteks ritual atau kepentingan akhirat semata. Ali Syariati
(2009: 85) memaknai kedua ritual ini sebagai berikut:
Tawaf,
mengandung makna bahwa gerak hidup setiap manusia, bukanlah sekedar
untuk hidup itu sendiri, melainkan segala gerak hidup itu terjadi dan
menuju kepada Allah. Allah lah sebagai pusat pusaran gerak manusia.
Sedangkan Sa’i, dimaknai sebagai simbol agar manusia
berusaha sebisanya mencapai keberhasilan dalam hidup ini, bukan hanya
untuk dirinya sendiri tapi untuk umat manusia.
Dalam proses
sa’i jalan yang ditempuh berbeda dengan tawaf. Apabila tawaf merupakan
perjalanan melingkar, maka sa’i adalah perjalanan lurus. Sa’i adalah
symbol hijrah dari satu tempat ke tempat lain dalam perjalanan hidup
untuk mencapai takdir diri masing-masing. Sa’i merupakan perjalanan
bolak-balik sebanyak tujuh kali, sebuah angka “ganjil”, bukan “genap”.
Tujuh adalah angka simbolis yang melambangkan seluruh kehidupan manusia
senantiasa menuju Marwah. Sa’i dimulai dari Shafa (yang artinya cinta
sejati kepada orang lain), dan berakhir di bukit Marwah (yang artinya
ideal manusia, rasa hormat, kedermawanan, dan sikap memaafkan orang
lain), yaitu orang yang ada di sekeliling dan bersama kita menjalani
kehidupan.
Sa’i adalah menenggelamkan diri kita dalam samudera cinta,
yang kemudian muncul dalam keadaan bersih, tanpa noda dan berada dalam
kemuliaan.
Marilah kita
bawa pemaknaan di atas dalam konteks kehidupan keseharian. Manusia
seharusnya melakukan “sa’i” dalam setiap keadaan hidupnya, yaitu
senantiasa berangkat dari Shafa (cinta sejati kepada orang lain) menuju
kepada bukit Marwah (kemuliaan). Maksudnya manusia dalam hidup ini harus
bekerja menjalani hari-harinya, dengan motivasi untuk orang lain, bukan
hanya untuk diri sendiri. Menjalani pekerjaan hari demi hari
hakikatnya adalah proses hidup itu sendiri, dan diharapkan akan berhenti
pada setelah mencapai tataran ideal manusia yang mulia.
Kata Sa’i
secara bahasa dapat diartikan sebagai usaha atau berjuang. Sa’i adalah
bekerja secara fisik, sebagai jalan untuk mencapai kehidupan yang lebih
baik. Makna Sa’i dapat dikembangkan sebagai perjuangan hidup, baik
pribadi, keluarga, maupun masyarakat. Dalam sa’i seseorang memerankan
diri sebagai Hajar, seorang wanita miskin, pelayan dan hamba sahaya yang
direndahkan, dari bangsa yang diremehkan. Namun Allah kuasa
menjadikannya ibu dari para nabi-Nya yang agung (para rasul). Dengan
ketaatan dan kepasrahannnya yang total, Hajar membuktikan bahwa Allah
akan menydiakan segala keperluan untuk dia dan anaknya. Allah akan
mengurus kehidupan, kebutuhan dan masa depan mereka.
Dalam
totalitas kepasrahan itu, Hajar tidak duduk termangu menunggu keajaiban
dari langit. Ia berlari ke sana ke mari dari satu bukit tandus ke bukit
tandus lainnya mencari air. Ia tidak duduk termenung dan menangis tanpa
daya. Ia gunakan segenap kekuatan kakinya, kehendaknya, dan pikirannya
dengan terus mencari, bergerak, dan berjuang tanpa henti. Pencarian air
melambangkan pencarian materi (kebutuhan hidup) di atas bumi ini.
Sa’i
mengisyaratkan makna perjuangan hidup pantang menyerah. Dalam hidup ini
setiap orang harus siap berjuang keras dan pantang menyerah. Namun
demikian, juga selalu disertai dengan kesabaran, keuletan, dan ketaqwaan
kepada Allah SWT. Inilah sebagian makna yang digambarkan sa’i dengan
mendaki dan menuruni bukit Shafa dan Marwa.
Ada kalanya
kegigihan itu harus dikedepankan, dan ada saatnya pula hidup ini harus
mengalir begitu saja. Di suatu saat kita naik dan berada pada puncak
keberhasilan yang menjadikan kita puas, namun di sisi lain juga harus
siap turun dengan kegagalan dan kekecewaan. Inilah realitas kehidupan
yang digambarkan dengan naik- turun bukit Shafa dan Marwa. Juga
terkadang harus bertindak cepat dalam meraih sesuatu, sebagaimana
digambarkan dalam syariat sa’i ketika sampai di antara ‘dua pilar hijau’
disunnahkan berlari-lari kecil.
Secara
singkat, simbolisasi dari tawaf dan sa’i berdasarkan pemaknaan di atas,
adalah bahwa setiap manusia harus memiliki kesadaran yang kuat mengenai sangkan paraning dumadi
(dari mana kehidupan ini berasal dan ke mana akan menuju, yaitu dari
dan menuju Allah). Setelah itu ia harus mengisi hari-hari kehidupannya
dengan bekerja keras, sungguh-sungguh (berlari-lari), dilandasi oleh
kesucian niat dan cinta yang murni kepada orang lain (Shafa), menuju
pada kualitas ideal dan kemuliaan seorang manusia (Marwah).
Semoga kita
bisa menghayati dan mengamalkan nilai-nilainya secara terus menerus,
sebagaimana motto Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), yaitu: Haji Sepanjang Hayat.
Allaahummaj’al hajjana hajjan mabruuran, wa sya’yan masykuuran,
wa dzanban maghfuuran. Amiin, ya mujiib as-saa’iliin.
Sumber Bacaan:
Ali Syariati. 2009. Makna Haji. Cetakan ke-12. Terjemah: Burhan W. Jakarta: Zahra
http://berangkathajiumroh.wordpress.com/2012/07/02.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar